Saat Jeruji Besi Jadi 'Kantor' Gembong Narkoba: Potret Buram Lapas Bukit Semut


Gambar : Lapas Bukit Semut,Sungailiat

Terasbabel.my.id,Sungailiat - Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) seharusnya menjadi tempat rehabilitasi, bukan pusat kendali kejahatan. Namun, kasus di Lapas Sungailiat, atau yang akrab disebut Lapas Bukit Semut, menunjukkan bahwa esensi pembinaan telah gagal.

Alih-alih memperbaiki narapidana, lapas ini diduga telah berubah fungsi menjadi tempat yang nyaman bagi mereka untuk mengendalikan bisnis narkoba.

Namun, apa yang terjadi pada Lapas Bukit Semut di Sungailiat justru berkebalikan. Ia telah bertransformasi dari tempat pembinaan yang ditakuti menjadi "sarang" aman bagi para bandar narkoba untuk menjalankan bisnis haram mereka. ​Perubahan drastis ini adalah pukulan telak bagi sistem peradilan dan pemasyarakatan kita.

Dahulu, Lapas Bukit Semut dikenal karena pembinaannya yang ketat, menciptakan ketakutan yang efektif bagi para narapidana untuk tidak kembali.

Kini, tempat itu justru menjadi pusat kendali peredaran narkoba, di mana para napi bisa menjalankan bisnisnya dengan leluasa.

Mereka tidak lagi merasa menjalani hukuman berat, melainkan menjalankan "pekerjaan" dari balik jeruji. Hanya bermodal telepon genggam, transaksi miliaran rupiah bisa dikendalikan dari dalam sel, membuat hukuman yang seharusnya berat terasa bagai liburan panjang.

​Bagaimana ini bisa terjadi? Jawabannya terletak pada lemahnya pengawasan dan, yang lebih parah, dugaan adanya keterlibatan oknum di dalam lapas. Fenomena ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya kelalaian yang sistematis.

Sistem pengawasan yang seharusnya ketat, mulai dari pemeriksaan barang bawaan hingga patroli rutin, seolah tidak berfungsi.

Ruang gerak narapidana untuk memiliki dan menggunakan alat komunikasi canggih seperti telepon pintar sangatlah mencurigakan, mengindikasikan bahwa ada celah yang sengaja dibuka.

Lemahnya Pengawasan: Narapidana disebut dapat leluasa mengendalikan jaringan kejahatan dari dalam lapas, seolah-olah lapas adalah "kantor" yang aman dari pantauan aparat. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan fundamental dalam sistem pengawasan

​Jika lapas yang seharusnya menjadi benteng terakhir untuk menghentikan peredaran narkoba justru menjadi pusatnya, maka tujuan pembinaan itu sendiri telah mati.

Masyarakat yang berharap para narapidana dapat jera dan memperbaiki diri, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka justru sedang "magang" dan membangun jaringan yang lebih kuat di dalam lapas.

Ini bukan hanya kegagalan institusi, tetapi juga ancaman serius bagi keamanan dan masa depan generasi muda.

Jika kondisi ini terus berlanjut, lapas akan kehilangan fungsinya sebagai lembaga rehabilitasi dan malah menjadi pusat kendali kejahatan, sehingga tujuan luhur pembinaan narapidana hanya menjadi wacana kosong.

Pemerintah dan Kementerian Hukum dan HAM harus segera bertindak. Audit menyeluruh, penindakan hukum tanpa pandang bulu terhadap oknum yang terlibat, dan perbaikan sistem pengawasan internal adalah langkah-langkah yang tidak bisa ditunda.

Jika tidak, tujuan luhur pembinaan narapidana hanya akan menjadi wacana kosong, sementara peredaran narkoba akan terus merajalela di dalam lapas, di bawah hidung aparat.

​Sudah saatnya kita melihat masalah ini sebagai krisis yang mendesak. Bukan lagi tentang memperbaiki satu atau dua celah, tetapi melakukan reformasi total.

Peningkatan pengawasan, sanksi tegas bagi oknum yang terlibat, serta pembaruan sistem yang transparan dan akuntabel adalah harga mati. Jika tidak, Lapas tidak akan lagi berfungsi sebagai tempat pembinaan, melainkan menjadi inkubator kejahatan yang terus-menerus merusak bangsa.

(Penulis Opini : S.M)






​​

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak

close